Sekjen MPM Uniska Klarifikasi Rumor Penetapan Status Tersangka Korwil BEM Se-Kalsel

Lentera Uniska, Banjarmasin – Beredar rumor Koordinator Wilayah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Kalimantan Selatan (Kalsel) Ahdiat Zairullah bersama rekannya Ahmad Renaldi yang ditetapkan sebagai tersangka usai mendapat surat panggilan dari Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Kepolisian Daerah (Polda) Kalsel, Senin (26/10) lalu.

Penetapan status tersangka kedua mahasiswa tersebut dikarenakan aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja jilid II pada 15 Oktober lalu berlangsung hingga tengah malam dan dianggap melewati batas waktu yang diizinkan.

Mengenai hal itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Muhammad Arsyad Al Banjari (MAB) Wira Surya Wibawa, mengklarifikasi atas penetapan status tersangka kedua rekannya tersebut.

“Mengenai status tersangka dari sahabat kami Ahdiat dan Renaldi, diinfokan hanyalah mis komunikasi atau kesalahpahaman di internal Polda,” tandasnya pada Minggu (01/11) lalu.

Wira sangat menyayangkan adanya kesalahpahaman tersebut dan menganggap itu merupakan pencemaran nama baik.

“Apalagi status tersangka ini sudah dilemparkan ke publik dan menjadi pencemaran nama baik, itu yang sangat kami sayangkan,” ungkapnya.

Atas kesalahpahaman tersebut, Wira berharap adanya pertanggungjawaban akibat merembesnya isu-isu penetapan status tersangka yang sebenarnya belum ada.

“Yang mewakili surat panggilan itu Ahdiat dan Renaldi, baru dua kali diperiksa muncul isu bahwa mereka menjadi tersangka. Sampai saat ini kami menunggu permintaan maaf atau klarifikasi resmi dari Polda, yang berdampak moriil pada orang tua serta kawan-kawan terdekat Ahdiat dan Renaldi,” sambungnya.

Sementara itu, Wira juga mengatakan, dirinya mengikuti aksi bukan karena lembaga MPM atau Demisioner BEM melainkan dari hati nurani sendiri terpanggil.

“Omnibus Law memang harus ditolak, apalagi saya juga tergabung dalam fraksi rakyat. Kalau tidak dianggap sebagai mahasiswa Uniska, maka saya menolak atas nama saya sendiri. Saat saya masuk di Uniska tahun 2016 sampai sekarang, baru kali ini adanya aksi lalu mendapat surat panggilan,” kata Wira.

Di akhir wawancara, mahasiswa Prodi Ilmu Hukum ini menegaskan, kasus seperti ini dapat menjadi contoh agar kedepannya tidak ada lagi isu-isu kesalahpahaman setelah melakukan aksi-aksi berikutnya.

“Kami dari aktivis yang masih berjuang ingin memberikan pembelajaran kepada publik, bahwa jangan sampai ada kesalahpahaman terkait kesalahan di internal institusi lagi, ini sangat disayangkan. Akibat masalah ini, regenerasi gerakan dapat terhambat untuk generasi selanjutnya,” tutupnya. (Ksk/Bgk)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *