Tetap Saling Menghargai, Berikut Batasan Toleransi Bagi Umat Islam

Rumah ibadah agama Kristen, Islam dan Konghucu

Lentera Uniska, Banjarmasin – Toleransi dalam bahasa Arab tasamuh, yakni sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok atau individu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Sikap toleransi menghindarkan terjadinya diskriminasi, walaupun banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu kelompok masyarakat.

Di Indonesia toleransi masih panas-panasnya, terutama dalam umat beragama. Dalam Islam sendiri, sangat jelas diajarkan bahwa Islam adalah agama yang sangat toleran. Namun, banyak kalimat simpang siur yang tidak sesuai dan malah memecahbelah antar umat beragama.

Nah, pada kesempatan kali ini, Lentera bakal nyoba lurusin batasan toleransi dalam beragama menurut Islam. Biar kita sesama umat beragama tahu dan bisa saling menghargai dan memahami satu sama lain.

Dalam aqidah, kita dilarang mempertukarkan aqidah atau turut serta dalam ibadah atau mengikuti ajaran agama lain. Sedangkan dalam Muamalah Maliyah, umat Islam dapat berhubungan dengan non muslim selama objek yang ditransaksikan dan akadnya dibolehkan dalam Islam.

“Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah,” Q.S. Al Kafirun: 1-5.

Islam juga tidak mengajarkan untuk memaksa umat agama lain agar memasuki agama Islam. Melalui Al Quran surah Al Baqarah, Allah berfirman.

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang inkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat dan tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” Q.S. Al Baqarah: 256.

Dalam kehidupan Rasulullah SAW paham betul bahwa masyarakat Arab yang menjadi objek dakwahnya terdiri dari berbagai suku. Apalagi di lingkungan bangsa Arab sendiri, sikap kesukuan sangat tinggi, yang terdiri dari banyak kabilah.

Salah satu contohnya adalah bagaimana Rasulullah SAW mampu bergaul dan berhubungan secara sosial dengan tetangganya yang beragama Yahudi di Madinah. Bahkan saat itu ada seorang Yahudi meninggal dunia yang dibawa oleh para kerabatnya untuk dimakamkan. Rasulullah SAW dan para sahabat sedang duduk-duduk. Mengetahui ada jenazah orang Yahudi sedang lewat, Rasulullah SAW kemudian berdiri sebagai tanda penghormatan.

Spontanitas para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau berdiri, padahal jenazah tersebut adalah seorang Yahudi?” Rasulullah menjawab “Setidaknya ia adalah seorang manusia,”.

Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa kita seharusnya menghormati apa yang agama lain lakukan, asalkan jangan kita mengikuti ajarannya. Allah juga sudah memperintahkan dalam Al Quran.

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku,” Q.S. Al Kafirun: 6.

Surah Al Kafirun menceritakan jelas batasan toleransi dalam beragama bagi umat Islam, kita boleh berteman dengan umat agama lain. Namun, kita dilarang untuk mengikuti cara mereka dalam beragama. Selain itu, perlu juga kita berhati-hati dengan makanan yang haram dan halal ketika kita sedang bertamu kepada mereka (umat agama lain).

Jadi, yang perlu ditekankan adalah kita tidak boleh sampai menodai aqidah dan menggoyahkan kepercayaan. Jika hal yang kita lakukan seperti mengucapkan selamat kepada Hari Raya agama lain dapat menodai aqidah kita, alangkah baiknya untuk menjauh dari itu. (Lsa/Ank)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *